Surabaya, fkg.unair-Banyak cara dapat dilakukan seorang akademisi untuk memperluas ilmu pengetahuannya. Salah satunya melalui program Staff Outbond yang memungkinkan seorang akademisi memperoleh atau menerapkan ilmu pengetahuan di lingkungan yang baru. Hal itu yang turut dilakukan oleh Dosen Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga (FKG UNAIR), Muhammad Subhan Amir, drg., Ph.D., Sp.BM(K).
“Awal mula saya mengikuti program staff outbond adalah karena ada tawaran dari Frontier Research Institute for Interdisciplinary Sciences (FRIS) yang ada di Tohoku University, Jepang. FRIS, adalah unit penelitian yang dimiliki oleh Tohoku University. Mereka menawarkan saya untuk mengikuti research fellowship, atau yang menurut versi FKG UNAIR disebut dengan istilah staff outbond,” terang drg Subhan.
Pelaksanaan research fellowship atau staff outbond ini diikuti drg Subhan selama satu bulan lamanya. Terhitung sejak 10 Mei 2022 hingga 10 Juni 2022.
“Pilihan durasinya sebenarnya ada satu sampai tiga bulan. Namun karena satu dan lain hal, saya memilih mengikuti program yang satu bulan,” tuturnya.
Di sela-sela masa program staff outbond, drg. Subhan juga menyempatkan diri ke Hokkaido University dan Kagoshima University. Kunjungan tersebut dalam rangka mempresentasikan program staff inbound dari FKG UNAIR yang terdiri dari academic fellow dan research fellow.
Meneliti Tentang Protein Manusia
Selama menjalani program tersebut, drg. Subhan terfokus pada penelitian mengenai protein di tubuh manusia. Protein yang ada diamati ekspresinya menggunakan Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA). drg Subhan menggunakan sample serum darah manusia untuk mengecek proteinnya.
“Sebenarnya pemeriksaan ELISA juga bisa dilakukan di Indonesia. Hanya saja topik penelitian research fellowship kali ini merupakan pohon penelitian pihak FRIS sehingga harus dilakukan di Jepang. Selain itu, di Jepang ini peralatan penelitiannya lebih lengkap. Saya berharap, penelitian serupa bisa dilakukan di FKG UNAIR di masa yang akan datang,” ungkap drg Subhan.
Kendala Program
Semasa menjalani program staff outbond dan bergelut dengan penelitiannya, drg. Subhan mengungkapkan bahwa dirinya tidak mengalami kendala berarti. Hal itu lantaran drg. Subhan pernah tinggal di Jepang sebelumnya saat menempuh Pendidikan Doktoral. Sehingga pemahaman terkait budaya akademik dan kondisi masyarakat Jepang telah dipahami olehnya.
“Kendala yang saya alami lebih kepada menyesuaikan peraturan pemerintah terkait perjalanan ke luar negeri. Karena saat itu masih ada aturan unuk karantina tiga hari dan tes PCR sewaktu akan berangkat ke Jepang. Kalau ketika pulang ke Indonesianya sudah tidak ada masalah,” bebernya.(gds)








