Surabaya, fkg.unair – Kebiasaan untuk merawat kesehatan gigi memang sebaiknya ditanamkan sejak dini. Terutama ketika seseorang masih berada pada fase anak-anak. Perilaku yang baik dalam merawat gigi di masa ini akan terus melekat hingga ia dewasa.
Sejatinya, di masa kini, tugas untuk mengajari sang buah hati merawat gigi bisa dilakukan baik oleh ibu maupun ayah. Namun, untuk konteks masyarakat pra sejahtera di pedesaan memiliki karakter yang berbeda. Hal tersebut yang pernah diteliti oleh Prof. drg. Thalca Hamid, Sp.Ort(K)., MHPED., Ph.D., dan Satiti Kuntari, drg., MS., Sp.KGA(K) pada tahun 2022.
Dalam penelitian berjudul “Mothers’ Role in Dental Health Behaviors of Their Children in the Low-Income Community, Blitar Rural Area” tersebut, Prof. Thalca Hamid meneliti warga Desa Purworejo, Wates, Blitar yang masuk dalam kategori masyarakat pra sejahtera. Menurut Prof. Thalca, di desa tersebut sebagian besar tugas mendidik anak menjadi tanggung jawab sang ibu yang saban hari berada di rumah.
Sebenarnya kondisi sosial seperti ini tidak hanya terjadi di desa tersebut. Banyak daerah di Indonesia juga mengalami hal yang sama. Untuk itu pengetahuan sang ibu terkait kesehatan gigi anaknya menjadi perhatian bersama. Terlebih terdapat data bahwa 76,8 persen dari ibu dengan balita kurang memiliki pengetahuan yang memadai tentang kesehatan gigi dan mulut anaknya, 84,1 persen tidak memiliki sikap yang diperlukan, dan 89,0 persen tidak memiliki tindakan yang diperlukan untuk menjaga kesehatan gigi anak mereka.
“Sebenarnya pengetahuan ibu tentang kesehatan gigi dan mulut anak di Blitar itu baik. Para kader kesehatan di desa cukup aktif dalam mensosialisasikan kesehatan gigi dan mulut anak. Hanya saja, tetap membutuhkan sentuhan dari dokter gigi,” jelasnya, Kamis (15/9/2022).
Prof. Thalca melanjutkan, kondisi yang kerap terjadi pada masyarakat pedesaan ialah sulitnya mengakses fasilitas kesehatan dimana terdapat dokter gigi di sana. Puskesmas terletak berkilo-kilometer jauhnya. Ditambah lagi masih ada perspektif bahwa bila belum mengalami sakit, maka tidak perlu ke dokter. Terlebih untuk bertemu dokter gigi, warga takut dengan mahalnya biaya yang harus dikeluarkan. Padahal berkunjung ke dokter gigi harusnya bisa dilakukan secara rutin.
“Idealnya letak puskesmas tidak lebih dari 5 kilometer dari pemukiman warga. Sebenarnya bisa pula dilakukan jemput bola, dimana dokter gigi di puskesmas berkunjung ke desa-desa. Atau setidaknya ada perawat yang bisa menyentuh mereka,” imbuhnya.
Hasil penelitian ini menjadi masukan berharga bagi pemegang kebijakan di kota tersebut. Bahwa kemudahan akses serta biaya untuk memeriksakan kesehatan gigi dan mulut pada dokter profesional sangat dibutuhkan oleh masyarakat pedesaan.
Di sisi lain, hal ini pula yang selalu ditekankan oleh Prof. Thalca kepada para mahasiswanya. Ia berharap mahasiwa-mahasiswanya kelak ketika menjadi dokter gigi profesional bisa menyentuh seluruh lapisan masyarakat.
“Saya merasa gagal bila mahasiswa saya beranggapan bahwa masyarakat di pedesaan tidak perlu disentuh,” tandasnya. fen